Candi Borobudur
terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Merupakan
candi Buddha terbesar kedua setelah candi Ankor Wat di Kamboja dan pernah
termasuk dalam salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Diperkirakan dibangun
pada masa dinasti Sanjaya oleh arsitek bernama Gunadharma. Merupakan candi Buddha
terbesar kedua setelah candi Angkor Wat di Kamboja yang terletak di Magelang,
Jawa Tengah, Indonesia.
Berbentuk segi empat
dengan panjang 123 m dan tingginya 42 m. Batu yang dipergunakan kurang lebih
55000 m3 (42000 m33 + 2750 m3 penutup kaki kesamping).
Belum pernah ada yang
mengetahui secara pasti darimana nama Borobudur berasal. Ada beberapa versi
mengenai asal usul nama candi ini. Versi pertama mengatakan bahwa nama
Borobudur berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “bara” yang berarti “kompleks
candi atau biara” dan “beduhur” yang berarti “tinggi/di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah
biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Versi kedua mengatakan bahwa nama Sejarah Candi
Borobudur kemungkinan berasal dari kata “sambharabudhara” yang berarti
“gunung yang lerengnya berteras-teras”. Versi ketiga yang ditafsirkan oleh
Prof. Dr. Poerbotjoroko menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari kata
“bhoro” yang berarti “biara” atau “asrama” dan “budur” yang berarti “di atas”.
Pendapat Poerbotjoroko ini dikuatkan oleh
Prof. Dr. W.F. Stutterheim yang berpendapat bahwa Bodorbudur berarti “biara di
atas sebuah bukit”. Sedangkan, versi lainnya lagi yang dikemukakan oleh Prof.
J.G. de Casparis berdasarkan prasati Karang Tengah, menyebutkan bahwa Borobudur
berasal dari kata “bhumisambharabudhara” yang berarti “tempat pemujaan bagi
arwah nenek moyang”.
Berdasarkan
prasasti Karang Tengah dan ditambah dengan prasasti Kahuluan, J.G. de Casparis
dalam disertasinya tahun 1950 mengatakan bahwa Sejarah Candi Borobudur diperkirakan
didirikan oleh Raja Samaratungga dari wangsa Sayilendra sekitar tahun Sangkala
rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 Masehi) dan baru dapat
diselesaikan oleh puterinya yang bernama Dyah Ayu Pramodhawardhani pada sekitar
tahun 847 Masehi. Pembuatan candi ini menurut prasasti Klurak (784 M) dibantu
oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya dan seorang
pangeran dari Kashmir yang bernama Visvawarma.
Versi Lainnya
menyebutkan bahwa candi borobudur merupakan
salah satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang,
Jawa Tengah. Maka dari itu disebut candi Borobudur.
Selain
itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal
dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Jadi
maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Bangunan
raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas
pajak) oleh Kahulunan (Pramudawardhani).Casparis memperkirakan bahwa Bhumi
Sambhadra Bhudhara dalam bahasa sansekerta yang berarti “Bukit himpunan
kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa”, adalah nama asli Borobudur.
Letak
candi ini diatas perbukitan yang terletak di Desa Borobudur, Mungkid, Magelang
atau 40 km sebelah laut kota Yogyakarta. Sementara di sebelah timur terdapat
Gunung Merapi dan Merbau, serta disebelah barat ada Gunumg Sindoro dan Gunung
Sumbing. Di sebelah utaranya
terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak
dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo danSungai Elo di sebelah timur. Menurut
legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap
suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
Borobudur
diperkirakan dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering. Pada 1931, seorang seniman dan pakar
arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau,
dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam
semua ikonografi seni keagamaan Buddha. Seringkali teratai itu digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk
singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri
menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra
Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga
pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga
teratai. Akan tetapi teori
Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan
dari para arkeolog. Pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan
bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada
masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara
itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan
analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan
danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp.
Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke
waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali
terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran
sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah bentang alam
dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung
berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat
dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen. Pendapat-pendapat
itulah yang menjadi alasan dugaan Borobudur dulunya didirikan diatas sebauh
danau.
Dimensi denah candi Borobudur berukuran panjang 121,66 meter, lebar 121,38
meter, dan tiinggi 35,40 meter. Struktur bangunan berupa 9 teras berundak
dengan stupa induk di puncak. Teknis Candi Borobudur terdiri dari lantai undag,
selasar, lorong tk I s.d tk IV, teras I s.d III dan stupa Induk. Terbuat dari batu andesit tak kurang dari 2 juta balok atau
setara dengan 50.000 m persegi. Berat
keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton. Seperti umumnya bangunan candi,
Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan dan atas.
Bagian bawah menjadi
penyangga bagian atas. bagian bawah berupa kaki candi dan lima tingkatan
tersusun diatasnya, makin keatas semakin kecil. Enam tingkatan ini bentuknya
segi empat, masing-masing berukuran 110, 100, 87, 82, 69, dan 61 m. Pada
tingkatan tingkatan segi empat ini ditempatkan bangunan-bangunan menonjol
kesamping. Hingga menjadi berliku-liku dan bersudut 20. Bagian bangunan itu
berupa pagar rendah dinamakan pagar langkan atau kumantra. Kumantra berhiaskan
relief-relief pada dindingnya, torana-torana diatasnya, tangga-tangga dan gapura-gapura
pada jalan-jalannya.
Kaki candi pada asalnya
berukuran 110 m, dan di tengah-tengah tiap-tiap sisi ditempatkan tangga untuk
naik keatas. Sisi luar kaki candi, yaitu profil kaki candi ditutup dengan batu kesamping, sehingga panjangnya menjadi
123 m. Ditempat yang membelok 113 m dan merupaknan jalan keliling yang lebar.
Lima tingkat Rupadhatu pada tiap tingkatnya didrikan kutamara sehingga
menyekat-nyekat tingkat-tingkat keatas. Dinding kutamara bagian luar dihias
dengan beraneka pajangan dan bagian dalam dihias dengan relief. Diatas kutamara
dihias torana-torana dengan patung sang Buddha didalamnya. Torana-torana diatas
dengan hiasan stupa dan torana-torana dibawah dihiaskan mutiara. Lengkung
ambang torana dihiaskan dengan kalamakara. Tiap-tiap deretan deretan torana
merupakan rangkaian atau karangan Buddha. Seluruhnya ada lima rangkaian Buddha.
Dengan adanya kutamara itu,
maka tiap-tiap tingkat terdapat ruang diantara kutamara dan sisi tingkat yang
diatasnya. Ruang itu dikanan kiri dibatasi oleh tingkatan yang ada diatasnya
dan kutamara, sehingga merupakan lorong yang sempit tetapi cukup lebar untuk
berjalan. Sebenarnya ada lima lorong. Akan tetapi tingkat persegi empat yang
terakhir sisi luarnya masih persegi dan memakai kutamara, mengikuti bentuk-bentuk
dibawahnya, akan tetapi sisi dalamnya sudah mengikuti bentuk bundardari
tingatan-tingkatan bundar diatasnya tanpa kutamara. Ruang atau selasar diantara
kutamara dan sisi tingkatan bundar itu tidak lagi merupakan lorong. Karena
hanya diatasi dengan dinding tinggi pada sisi luarnya. Tapi tidak lagi pada
sisi dalamnya. Selasar ini hilang sifatnya sebagai lorong. Oleh karena itu
hanya ada empat lorong dan tingkatan segi empat yang tertinggi. Ini merupakan
tingkat peralihan, yaitu peralihan dari tingkat-tingkat segi empat ke
tingkat-tingkat bundar.
Empat lorong tersebut
adalah di jalan keliling untuk mengadakan prosesi atau upacara. Berjalan
keliling dimulai dari tangga utama disebelah timur dan selalu mempradaksina,
yaitu selalu menganankan candi.
Ia
tidak memiliki ruang untuk dimasuki. Cara orang menjelajahinya adalah dengan
menyusuri sepanjang selasarnya searah jarum jam. Borobudur adalah susuran
batuan yang dibentuk candi dan diletakkan diatas sebuah bukit. Menurut
pembagian yang berdasarkan pandangan kejiwaan atau alam pikiran Hindu Kuna,
terdiri dari tiga tingkatan. Dari mulai paling bawah disebut Kamadhatu,
Rupadhatu, kemudian Arupadhatu.
Konstruksinya adalah sebagai berikut:
Bangunan kaki disebut
Kamadhatu atau “Kamawacara”, yaitu kwansius: daerah keinginan hawa nafsu yang
menceritakan tentang kesadaran yang dipenuhi dengan hawa nafsu dan sifat-sifat
kebinatangan. Bagian ini sebagian besar
tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi
candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160
panel cerita Karmawibhangga. Secara filosofi,
bagian Karmawibhangga sengaja ditupi sebagai simbol dari Buddha yang berhasil
mencapai sebuah kesadaran dan berusaha untuk menutupi ‘nafsu rendah’ yang
digambarkan dalam relief-relief Karmawibhangga. Sekarang sebagian kecil
struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Kemudian Ruphadatu atau
“Rupawacara”, yang bermakna sebuah tingkatan kesadaran manusia yang masih terikat hawa nafsu, materi dan bentuk. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar
relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir
dekoratif. Pintu tangga yang
terbawah dengan 4 anak tangga dihiasi oleh Kalamakara, tangga kedua dengan 5
anak tangga dihiasi oleh kalaberikal, pintu tangga yang ketiga merupakan bagian
atas dari pintu penutup kai candi kesamping yang merupakan selasar (jalan
keliling) yang agak lebar. Dari selasar ini kita lihat relief dilukiskan pada
bidang-bidang sekeliling candi. Bidang ini ada dibawah pagar langkan pertama
bagian terluar. Bagian atas pagar langkan dihias dengan torana-torana.
Bidang-bidang relief fiatas itu ada diatas relief kharmawibangga yang juga
tertutup oleh batu kesamping
Aruphadatu yang tak lagi
terikat hawa nafsu, materi dan bentuk digambarkan dalam bentuk stupa induk yang
kosong. Hal ini hanya dapat dicapai dengan keinginan dan kekosongan. Bagian
ini merupakan inti dari seluruh bangunan suci. Bagian atas ini terdiri dari
empat bagian: medhi kesatu , yaitu tingkat bundar pertama, medhi kedua yaitu
tingkat bundar kedua, dan medhi tiga, yaitu tingkat bundar ketiga. Anda yaitu
tingkat bundar keempat dengan stupa induk berupa bola atau genta raksasa.
Didalam stupa besar itu terdapat rongga yang dinamakan garbha. Garbha artinya
perut. Pada bagian itu dapat dilihat pada irisan bangunan itu. Rongga itu
tempat menyimpan harta, mungkin benda yang paling suci dari seluruh bangunan.
Belum dapat dipastikan benda apa yang sebenarnya pernah disimpan didalam tempat
penyimpanan relik itu. Mungkin patung sang Buddha dari emas, atau
setidak-tidaknya berlapis emas. Ada satu bagian lagi yang menempati posisi
paling bawah yaitu Karmawibanggha. Pada bagian ini tidak terdapat patung
meditatif Buddha, hanya terdapat relief-relief yang menggambarkan adegan-adegan
yang tidak bermartabat, kehidupan masyarakat yang masih dipenuhi hawa nafsu dan
belum mencapai kesadaran.
No comments:
Post a Comment