Saturday, January 31, 2015

THE KEY CONCEPTS: ART, ARTISTIC, ARTS AND ARTY


           Both a descriptive term and an evaluative concept, art refers to artefacts, process. Skills and effects entailed in the production of visual representations within a wide variety of media and materials. The latter category – effects’ – interestiingly includes the critical label ‘arty’, suggesting a too – obvious playing with, or showy use, of artistic means (as in ‘special effects’). With a highly complicated historical and contemporary relationship to many other terms used in art history – that composite term itself, along with, for exampledesign, craft, artisan, labour, theory and science – art remains one of the most problematic and confusing, yet indispensable terms in cultural history and analysis. It’s complexity and significance is partly a result of its centrality within both the development of visual-representational practices and cultural theory since the ranaissance. For example, the evolution of the idea and self-presentation of the artist as a special kind of creative producer (individual genius) is a key aspect to the history of the concept of art. 
       
       Art, by the fifteenth century in Europe, has started to become a specialised name for an increasingly limited number of practices and artefacts – certainly not at the stage, howefer, limited only to painting and sculpture – selected and regarded as ‘liberal’ in their nature. This designation (e.g. : in London Baptista Alberti’s Della Pittura [On Painting] (1435)) was used to indicate that theoritical understanding preceded and duided the practice of the activity, in accordance with established, though evolving, rules and precepts. The ‘liberal arts’, them, were separated from, and elevated in status above, other activities seen as essentially practical – such as stone – masonry or stained-glass work –which later became artists such as Leonardo da Vinci, Raphael, or Michaelangelo, but ratherof (certainly skilled) artisans or craftspeople whose individual names and lives were not regarded as crucial in accounts of the value of their work.

          In contemporary historical, critical and popular usage, art retains a wide range of overlaping and sometimes contradictionary meanings and values. For instance, it is still used generally to designate a plurality of cultural activities and products: the arts – with an addictional ‘s’ that is – generally refers to, for example, painting, dance, literature, music, architecture, and cinema. Note, however, that although this list seems inclusive, in actual critical and hitorical accounts radical analysisover many decades now, creating categorical divisions and enterenched posisition. While conventionally agreed art objects, such as paintings and ‘fine art’ prints, have in all cases been designed (that is, planed and executed according to rules and compositional conventions), the category of design in the twentieth century has become established partly in contrast to art. Printed advertisements and product packaging, for example, are not accorded art status, although these two forms and sets of artefacts are clearly visual, fabricated from printed media materials, and have, in some cases, very sophisticated compotition and stylistic histories. And while some artefacts are awarded high status as design objects (sometimes with ‘designer’ or even ‘clasic design’ status: e.g. haute couture dresses by Christian Lacroix and Charles Eames’s moulded plywood chair from 1948) rather than craft items – often, but not always, due to their mass production and reproducible character – they exemplify the way art as a term, like design, may be used in one sense in an apparently neutral classificatory sense and then in clearly evaluative sense in orther specifically to select or reject, and to judge the value and meaning of certain objects.

Source: Harris, Jonathan. Art History, The Key Concepts (Routledge Taylor&Francis Group: 2006)

Pameran Karya Adhya Ranadireksa: TINTIN POSITIF


       Dalam ruangan yang kurang lebih seukuran kamar di galeri s.14 itu, Adhya Ranadireksa memamerkan karya-karya terbarunya dengan judul Si Tintin Positif yang diolah dari berbagai karakter dalam komik Tintin. Gagasan tersebut bermula dari kesukaannya pada cerita petualangan seorang wartawan rambut jambul yang memiliki anjing bernama Snowy itu. Hobinya itu mendorongnya untuk untuk mengoleksi segala hal yang berbau Tintin. Kini Adhya mampu untuk memenuhi keinginannya untuk memiliki merchandise yang berhubungan dengan Tintin itu. Bukan dengan  membeli banyak-banyak benda-benda dagangan resmi dari Tintin production, tapi dengan membuatnya sendiri. Tapi tentu saja dengan sentuhan imajinasinya sendiri, namun tetap mengambil bagian dari karakter-karakter dalam komik Tintin.


           Karya-karyanya yang terlihat ringan, lucu dan menyenangkan tersebut ternyata dapat memiliki makna yang meluas ke tempat yang nampaknya sama sekali tidak ingin  oleh Herge, sang pengarang komik Tintin, untuk memasukannya kedalam cerita Tintin yang asli. Gagasan yang jail itu berkembang dan menyasar ke permasalahan sosial, budaya, dan politik kontemporer. Diantara karya-karyanya ialah “mempermainkan” ciri khas yang ada di komik itu. Dengan bermodalkan pengetahuannya akan hal itu, ia memparodikan sejumlah adegan dalam komik berupa patung, poster, kaos, fotografi sehingga makna dan konteks yang baru akan Tintin pun terbentuk.


         Mungkin bagi orang tertentu, karya ini mengandung humor yang sedikit menggigit. Awalnya memang terlihat sebagai sekedar ide liar yang memparodikan Tintin sehingga “meleset” dari gambaran aslinya. Namun Adhya cukup berhasil mengeluarkan anggapan itu dan membawa pemirsanya menuju imajinasi-imajinasi baru yang berlapis melalui simbol-simbol khas dari dunia lain yang ia “tempelkan” kepada Tintin dan kawan-kawannya.



           Tampak sekali apa yang ingin Adhya ajak kepada pemirsa karyanya, yakni mendiskusikan hal-hal yang berbau orientalisme yang simbolnya dominan dalam karya tersebut, kemudian politik kapitalisme global, dan kontroversi jihad, Islam dan tentu saja yang tak kalah menonjolnya: kemunafikan-kemunafikan dalam kehidupan sehari-hari.

        Menyadari akan perkembangan pembacaan gagasan tersebut, karya seni Si Tintin Positif ini tidak lagi sederhana. Jika kita melihat judulnya, istilah positif yang digunakan bisa bermakna luas. Positif biasanya dimaknakan sebagai  suatu yang pasti; tegas; tentu, yakin, bersifat nyata dan membangun, tidak menyangkal ataupun mengiakan. Jika dimasukan kedalam karya ini dapat berarti karya yang memiliki harapan untuk memberikan sumbangsih sesuatu yang baik dan membangun, paling tidak untuk penyadaran terhadap kondisi kontemporer dan perkembangan seni rupa.


          Penyadaran yang membangun itu tercermin salah satunya pada karya edisi posternya. Sembilan poster berukuran 44,5 cm x 61,3 cm itu diambil dari cover komik Tintin dengan “memparodikan” gambar dan judul nya. Judul dari kesembilan poster itu diantaranya: Kepingin berjihad emas (asli: kepiting bercapit emas); Penerbangan 911 (penerbangan 174 ke Sydney); Bulan Bintang Jatuh (Bintang Jatuh); Rahasia Batu Hitam (Rahasia Pulau Hitam); Harta Kurang Marah-Marah (Harta Karun Rakham Merah); Lima Rukun Ajaib (Tujuh Bola Kristal); Penjelajahan Bulan Bintang (Penjelajahan di Bulan); Kepingin berjihad Emas (Kepiting bercapit Emas) dan Ngeri Berhati Hitam (Negeri Emas Hitam).
                            gambar cover asli komik Tintin


                                        seri poster karya yang mengambil image cover Tintin 
                                                     dan sengaja dibuat berwarna abu-abu

         Ada kesamaan dalam penyertaan simbol baru pada sembilan poster itu. walau Adhya masih menyisakan ciri khas gambar dari Tintin disana, tapi perubahan yang ia buat pada gambar di poster itu cukup untuk _ bersama judul dari poster tersebut (yang juga ia ubah)_memberikan makna baru. Kita ambil contoh pada poster yang berjudul “Kepingin Berjihad Emas” yang bergambarkan Tintin beserta kapten Haddock yang menunggang unta mereka masing-masing. Medali bergambar mirip lambang Pancasila tergantung pada leher unta-unta itu. hanya saja simbol bintang diganti dengan bulan dan bintang, simbol pohon beringin diganti menjadi pohon kurma, kepala banteng diganti menjadi unta, padi dan kapas menjadi pedang ala mafia gurun pasir. Ekspresi wajah Tintin bukanlah seperti seorang wartawan polos yang kita kenal. Pakaian ala timur tengah lengkap beserta sorbannya lengkap ia kenakan. Ia tersenyum licik menghadap ke arah belakang dimana kapten Haddock dengan pakaian sejenis beserta bom waktu dan bendera hitam bergambar tengkorak di tangan yang satunya. Tintin sendiri menaruh senjata laras panjang di belakangnya dan hewan berwajah licik sejenis kucing di pangkuannya. Penggambaran tersebut dapat merepresentasikan sebuah keserakahan atas kekuasaan jabatan yang disimbolkan sebagai unta bermedali itu. Dimana bisa menjadi sebuah kritik yang tajam atas fenomena yang banyak terjadi di negara timur tengah terutama yang berpenguasa zhalim mengatasnamakan diri sebagai Islam.
Jika tadi adalah contoh dari penyertaan simbol yang banyak, yang ini merupakan contoh penggantian simbol yang sederhana. Pada poster berjudul “Lima Rukun Ajaib” sekilas hampir tidak ada gambar yang ia ubah dari aslinya. Hanya warnanya saja yang menjadi abu-abu, kostum profesor Lakmus dan judul yang ia ganti dari awalnya “Tujuh Bola Kristal”. Kesan pengertian yang timbul dari adanya penyatuan judul baru dengan gambarnya hanyalah soal “keajaiban” dari lima rukun yang oleh orang Islam dikenal sebagai Rukun Islam dengan gambar angin berkilauan yang mengangkat kursi dimana profesor lakmus dengan pakaian muslimnya terbang berputar-putar. Simbol-simbol tersebut dapat diartikan dengan lima rukun Islam yang apabila dilaksanakan dapat membawa ke arah derajat yang lebih tinggi dalam kehidupan.


      Si Tintin positif tetaplah Tintin. Walaupun Adhya memberikan kesan baru terhadapnya, petualangan tetaplah petualangan. Sejak Herge sampai Adhya mmenciptakan tentangnya, Tintin yang suka membawa pemirsanya berkelana dalam karya ini kesan itu tidak hilang.  Bedanya ada pada kemana ia membawa pembacanya berkelana. Di tahun pertama 1929 dimana ia diciptakan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya, Tintin tetap berada di hati pemirsanya karena ia membawa semangat yang sama dengan kebanyakan mereka pada saat itu: ekspansi dan berpetualang ke negeri-negeri (bisa jadi negeri jajahan mereka). Kini, Adhya juga membawa pengamat karyanya berpetualang ke negeri-negeri dimana fenomena politik kapitalisme global, kontroversi jihad dan Islam serta kemunafikan-kemunafikan dalam kehidupan sehari-hari yang ia gambarkan bisa didapatkan dewasa ini. Tidak hanya itu, Ikon Islam terlihat dominan dalam karya ini yang muncul sebagai kegiatan keseharian dan pergerakan ekspansi yang berhubungan dengan penguasa dengan yang dikuasai dan pengendali dengan yang dikendalikan.




       Karya-karya Adhya sebelumnya sudah memberi tanda bahwa dia sudah lama melakukan tindakan parodi, alegori, apropriasi. Kecurigaan Adhya terhadap tatanan yang telah mapan atau dimapankan oleh sebuah institusi lah yang direfleksikan kedalam karya-karya Adhya sampai saat ini, Si Tintin Positif. 

karya berbentuk cinderamata


biografi Adhya Ranadireksa

pendukung pameran